RSS
Facebook
Twitter

Sabtu, 29 Juni 2013

Kecerdasan Imam Asy-Syafi’i

Di bawah ini adalah beberapa riwayat yang menunjukkan kecerdasan Asy-Syafi’i rahimahullah yang sangat di sanjung oleh para ulama yang lainnya.
Dari Ubaid bin Muhammad bin Khalaf Al-Bazzar, dia berkata, “Ketika Abu Tsaur ditanya tentang siapa yang lebih pandai antara Imam Asy-Syafi’i dan Muhammad bin Al-Hasan, maka ia menjawab bahwa Imam Asy-Syafi’i lebih pandai dari pada Muhammad, Abu Yusuf, Abu Hanifah, Hammad, Ibrahim, Al-Qamah dan Al-Aswad.
Ahmad bin Yahya memberitahukan bahwa Al-Humaidi berkata, “Aku telah mendengar dari Sayyid Al-Fuqaha’, yaitu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Sedang Ar-Rabi’ berkata, “Aku pernah mendengar Al-Humaidi dari Muslim bin Khalid, ia berkata kepada Imam Asy-Syafi’i, ‘Wahai Abu Abdillah, berfatwalah. Aku bersumpah demi Allah, sesungguhnya kamu sekarang sudah berhak mengeluarkan fatwa.’ Padahal Imam Asy-Syafi’i pada saat itu baru berusia lima belas tahun.”

Syekh Ibnu Athaillah

as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.

Ibn ‘Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Setiap orang yang hidup di atas muka bumi adalah ciptaan Tuhan yang unik. Rahsia setiap orang ada di sisi Tuhan Yang Esa. Dia Maha Mengetahui. Tidak semua orang yang mampu memahami mengikut kehendak Tuhan. Pandangan manusia terhadap manusia yang lain mempunyai tafsiran, sangkaan dan penilaian yang berbeda.

Ada manusia yang ketika di dunia, dia disanjung, dipuji dan dipuja sedangkan di sisi tuhan rupa-rupanya dialah manusia yang dilaknat Tuhan, Sebaliknya ada pula yang dikeji, dicaci nista di dunia tetapi pada Tuhan, merekalah para kekasihNya yang pilihan.

Hakikatnya Islam mengajar untuk bersangka baik dengan sesama manusia. Walaupun seseorang itu kafir, bersangka baiklah moga-moga dia beriman satu masa nanti. Inilah sunnah Baginda Nabi saw. Ketika Baginda berlindung di balik bukit Taif setelah dibaling dengan batu oleh kaum Bani Thaqif,

Allah telah menghantar malaikat Jibril dan malaikat penjaga bukit-bukau dan gunung-ganang. Kata Jibril: "Wahai Rasulullah, Allah telah mengutuskan kami kepadamu. Kalau kamu mahu, perintahkan malaikat ini untuk mentelangkupkan Mekah diantara dua bukit dan mereka akan musnah". Jawab Rasulullah Saw: "Wahai Jibril, jangan lakukannya. Biarlah aku bersabar terhadap kaumku. Semoga Allah akan melahirkan dari zuriat mereka orang-orang yang beriman kepada Allah".

Marilah kita telusuri kisah menarik tentang Uwais AlQarni - seorang tabi'in yang hidup sezaman dengan Baginda Rasulullah saw. tetapi tidak berkesempatan bertemu dengan Baginda saw. Walaupun begitu kecintaan Uwais AlQarni terhadap Rasulullah saw sangat memenuhi seluruh jiwa raganya.

Hati yang cinta dan rindukan Rasulullah saw itulah yang menghubungkannya dengan Baginda saw. Tanpa pernah bertemu tetapi Baginda saw. mengenalinya dengan tepat. Penduduk langit sangat memuji dan mendoakan Uwais kerana dirinya yang sangat memuliakan kekasih Allah iaitu Nabi Muhammad saw.

Apa yang menarik ialah persoalan Uwais AlQarni berjaya menempuh jalan kepada Tuhan tanpa bertemu berbaiah dengan Nabi saw. Inilah kaedah atau hujjah yang diguna-pakai oleh para guru sufi yang tidak mempunyai silsilah ijazah amalan wirid daripada sesiapa pun gurunya.